Wednesday, 24 December 2014

HADITS TENTANG KEPEMIMPINAN PEREMPUAN

Job Online untuk Semua. Bekerja dari komputer di rumah.

A.      PENDAHULUAN
Menjadi seorang pemimpin bukan sebuah hal yang mudah seperti mudahnya membalikkan telapak tangan, akan tetapi menjadi seorang pemimpin membutuhkan kejelian, membutuhkan kecerdasan, membutuhkan ilmu, kecakapan serta banyak lagi yang dibutuhkan oleh seseorang jika dirinya menginginkan menjadi seorang pemimpin.
Tidak diragukan lagi bahwa di dalam Islam laki-laki merupakan pemimpin bagi wanita, sehingga sudah sepatutnya di dalam Islam jika kalau di dalam kepemimpinan keluarga saja diberikan kepada seorang laki-laki, bagaimana dengan kepemimpinan suatu negara?.
Oleh karena itu menjadi sebuah pertanyaan yang kiranya perlu dibahas adalah bagaimana jika seorang wanita menjadi pemimpin?. Dari pembahasan makalah ini akan kami sebutkan beberapa hadist yang berkaitan dengan hal tersebut sebagaimana yang akan diuraikan dalam makalah ini.

  1. RUMUSAN MASALAH
1.      Hadits apa yang berkaitan dengan kepemimpinan perempuan?
2.      Bagaimana Takhrij Hadist Kepemimpinan Perempuan?
3.      Bagaimana Asbabul Wurud dari hadits tersebut?
4.      Bagaimana Isi Kandungan Hadist Kepemimpinan Perempuan?

  1. PEMBAHASAN
1.      Hadits Larangan Kepemimpinan Perempuan
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّه بِكَلِمَةٍ سمعتها  من رسول لله صلي الله عليه وسلم أَيَّامَ الْجَمَلِ لَمَّا بَلَغَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ اهل فَارِس قد مَلَّكُوا عليهم بنت كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَة (رواه البخاري)[1]
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Al Haitsam telah menceritakan kepada kami Auf dari Al Hasan dari Abu Bakroh mengatakan : Allah memberikan manfaat kepadaku dengan sebuah kalimat yang aku dengar dari Rasulullah SAW pada hari perang jamal, setelah aku hampir membenarkan mereka Ashabul Jamal dan berperang bersama mereka, ketika sampai kabar kepada Rasulullah SAW bahwa bangsa Persia mengangkat putri Kisra sebagai pemimpin, beliau bersabda: Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita. " ( HR. Al Bukhori )

2.      Takhrij Hadits
Hadist-hadist yang senada antara lain:
صحيح  البخاري   
Kitab Fitan
7099 - حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ الهَيْثَمِ، حَدَّثَنَا عَوْفٌ، عَنِ الحَسَنِ، عَنْ أَبِي بَكْرَةَ، قَالَ: لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ أَيَّامَ الجَمَلِ، لَمَّا بَلَغَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ فَارِسًا مَلَّكُوا ابْنَةَ كِسْرَى قَالَ: «لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً»  (ج 9,ص 55)

Kitab Maghozi
4425- حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً

سنن الترمذى
Kitab Fitan
2262- حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ المُثَنَّى قَالَ: حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ الحَارِثِ قَالَ: حَدَّثَنَا حُمَيْدٌ الطَّوِيلُ، عَنْ الحَسَنِ، عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ: عَصَمَنِي اللَّهُ بِشَيْءٍ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا هَلَكَ كِسْرَى، قَالَ: «مَنْ اسْتَخْلَفُوا؟» قَالُوا: ابْنَتَهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ  امْرَأَةً »، قَالَ: فَلَمَّا قَدِمَتْ عَائِشَةُ يَعْنِي البَصْرَةَ ذَكَرْتُ قَوْلَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَصَمَنِي اللَّهُ بِهِ: هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ (ج 4,ص 527)

سنن النسائى
Kitab Qudhot
5388- أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، قَالَ: حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ الْحَارِثِ، قَالَ: حَدَّثَنَا حُمَيْدٌ، عَنْ الْحَسَنِ، عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ: عَصَمَنِي اللَّهُ بِشَيْءٍ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا هَلَكَ كِسْرَى قَالَ: «مَنِ اسْتَخْلَفُوا؟» قَالُوا: بِنْتَهُ، قَالَ: «لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً»   8 , ص227 )

مسند احمد
20402- حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ عُيَيْنَةَ، أَخْبَرَنِي أَبِي، عَنْ أَبِي بَكَرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ أَسْنَدُوا أَمْرَهُمْ إِلَى امْرَأَةٍ»  ( ج 34, ص 43 )

مسند احمد
20474- حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكْرٍ، حَدَّثَنَا عُيَيْنَةُ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي بَكَرَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ أَسْنَدُوا أَمْرَهُمْ إِلَى امْرَأَةٍ (ج 34, ص 120)
مسند احمد
20157- حَدَّثَنَا هَاشِمٌ حَدَّثَنَا مُبَارَكٌ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ أَبِي بَكَرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ تَمْلِكُهُمْ امْرَأَةٌ»  (ج 34 , ص 149 )
مسند الترمدى
Kitab Fitan
2183- حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ الْحَارِثِ حَدَّثَنَا حُمَيْدٌ الطَّوِيلُ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ عَصَمَنِي اللَّهُ بِشَيْءٍ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا هَلَكَ كِسْرَى قَالَ مَنْ اسْتَخْلَفُوا قَالُوا ابْنَتَهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً قَالَ فَلَمَّا قَدِمَتْ عَائِشَةُ يَعْنِي الْبَصْرَةَ ذَكَرْتُ قَوْلَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَصَمَنِي اللَّهُ بِهِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ


 
رَسُولُ اللَّه
أَبِي بَكَرَة                                                                                         
                                      حسن                                           ابي عيينة
مبارك                     حميد              عوف                                           عيينة
       عفان           هاشم          خالد            عثمان               محمد بن بكر      يحيى            
احمد                  محمد بن مثنى        البخاري                               احمد
الترمذى                              النسائي     

        Dari ketiga jalur sanad tersebut, semuanya bertemu pada “al-Hasan” yang menerima hadist dari Abu Bakrah. Berdasarkan sedikit pemaparan tentang para rowi di atas, dapat disimpulkan bahwa mata rantai sanad  empat jalur (al-Bukhori, an-Nasai, at-Turmudzi, dan Imam Ahmad) adalah ittishol atau sambung.
Hal ini dibuktikan dengan penggunaan rowi dengan rowi selanjutnya (حدثنا أخبرنا عن), Adanya hubungan guru murid antar rowi, serta positifnya penilaian para ulama terhadap para rowi. Dari sini dapat disimpulkan bahwa hadist ini dari segi sanad bernilai shohih.

3.                Asbab al-Wurud Hadist
Da’wah Islamiyah yang dilakukan Rosulullah ke berbagai daerah dan negara di antaranya dilakukan dengan mengirimkan surat kepada pembesar-pembesar kerajaan. Salah satu kerajaan yang mendapatkan surat dari Nabi adalah Kisra Persia. Berikut kisahnya: ”Rosulullah mengutus ’Abdullah bin Hudzafah as-Sami untuk mengirimkan surat kepada pembesar Bahrain. Setelah itu pembesar Bahrain menyampaikan surat tersebut kepada Kisra. Setelah membaca surat dari Rosulullah, ia menolak dan bahkan menyobek-nyobek surat Rosul. Peristiwa ini didengar Rosulullah, kemudian beliau bersabda: ”Siapa saja yang telah merobek-robek surat saya, dirobek-robek (diri dan kerajaan) orang itu”.
Selang beberapa waktu kemudian, terjadi suksesi dan pertumpahan darah yang menyebabkan kematian sang raja. Kerajaan tersebut mengalami kekacauan selama kurang lebih tiga tahun. Pada akhirnya, diangkatlah Buwaran binti Syairawaih bi Kisra (cucu Kisra) sebagai ratu karena ayah dan saudara laki-lakinya terbunuh dalam peristiwa tersebut. Hal ini terjadi sekitar tahun 9 H. Mendengar hal ini, Rosulullah bersabda : ”Tidak akan beruntung suatu kaum yang diperintah perempuan”.

4.       KANDUNGAN HADITS
Hadits tersebut menjelaskan, bahwa suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita, tidak akan mendapatkan keberuntungan. Padahal, meraih sebuah keberuntungan dan menghindarkan diri dari kesusahan adalah sebuah anjuran. Dari sini, Ulama berkesimpulan bahwa wanita tidak diperkenankan menduduki tampuk kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara. Ketentuan semacam ini, menurut al-Qâdhi Abû Bakr ibn al-’Arabiy merupakan konsensus para ulama.
 Sedangkan untuk kekuasaan yang cakupannya lebih terbatas, semisal pemimpin daerah, keabsahan kepemimpinan wanita masih menjadi perdebatan para ulama. Perbedaan ini, dilatarbelakangi adanya perbedaan sudut pandang dalam menilai kepemimpinan semacam ini, apakah termasuk bagian dari kekuasaan, persaksian, ataukah fatwa.
Imam Ahmad, Imam Malik, dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa wanita tidak berhak menjadi pemimpin, meski dalam lingkup yang lebih terbatas. Sebab, bagaimanapun juga, menjadi pemimpin, baik dengan kekuasaan luas maupun terbatas, pada hakikatnya sama. Yang membedakan hanyalah wilayah kekuasaannya semata. Padahal, Rasulullâh jelas-jelas melarang seorang wanita menjadi pemimpin. Sedangkan Abu Hanifah seorang perempuan dibolehkan menjadi hakim, tetapi tidak boleh menjadi hakim dalam perkara pidana.[2]
Imam Al Baghowi berpendapat bahwa seorang perempuan tidak patut menjadi imam,kepala negara dan qodli. Dengan alasan seorang imam wajib baginya keluar dari istana untuk mengatur dan melaksanakan jihad. Sedangkan qodli harus keluar rumah dalam memutuskan perkara. Padahal dalam hal ini perempuan dianggap aurot yang mana pekerjaan semacam itu tidak pas,layak dan patut baginya karena perempuan lemah dalam beberapa pekerjaan.[3]
Adapun Ibnu jarir At-tobari membolehkan wanita menjadi pemimpin secara mutlak.[4] Begitu juga Yusuf Al-Qordhawi memperbolehkan wanita dalam berpolitik. Beliau menjelaskankan bahwa penafsiran terhadap surat an-nisa ayat 34 bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita dalam lingkup keluarga atau rumah tangga. Jika ditinjau tafsir surat An-Nisa ayat 34 bahwa laki-laki adalah pemimpin wanita, bertindak sebagai orang dewasa terhadapnya, yang menguasainya, dan pendidiknya tatkala dia melakukan penyimpangan. “Karena Allah telah mengunggulkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Yakni, karena kaum laki-laki itu lebih unggul dan lebih baik daripada wanita. Oleh karena itu kenabian hanya diberikan kepada kaum laki-laki.[5]
Banyak dalil yang dikemukakan para penentang hak perempuan, diantaranya adalah  hadist di atas. Mereka memahami hadist tersebut secara tekstual dan menegaskan bahwa pengangkatan perempuan sebagai kepala negara dan berbagai jabatan politisi lainnya adalah dilarang. Sepert halnya al-Khottobi yang mengatakan bahwa seorang perempuan tidak sah menjadi kholifah. dalih ini juga diperkuat dengan ayat- al-Qur’an Q.s. al-Ahzab: 33
    وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّه  لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرا
Artinya “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya (QS. Al-Ahzab ayat 33).
Tapi banyak pula yang tidak sependapat antara lain, Dr. Muhammad Sayid Thanthawi, Syaikh Al-Azhar dan Mufti Besar Mesir,[6] menyatakan bahwa kepemimpinan wanita dalam posisi jabatan apapun tidak bertentangan dengan syariah. Baik sebagai kepala negara (al-wilayah al-udzma) maupun posisi jabatan di bawahnya. Dalam fatwanya yang dikutip majalah Ad-Din wal Hayat, Tantawi menegaskan:

ان تولي المرأة رئاسة الدولة لا يخالف الشريعة الإسلامية لأن القرآن الكريم أشاد بتولي المرأة لهذا المنصب في الآيات التي ذكرها المولى عز وجل عن ملكة سبأ وأنه إذا كان ذلك يخالف الشريعة الإسلامية لبين القرآن الكريم ذلك في هذه القصة وحول نص حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم : (لم يفلح قوم ولو أمرهم امرأة )، قال طنطاوي ان هذا الحديث خاص بواقعة معينة وهي دولة الفرس ولم يذكره الرسول صلى الله عليه وسلم على سبيل التعميم.: فللمرأة أن تتولى رئاسة الدولة والقاضية والوزيرة والسفيرة وان تصبح عضوا في المجالس التشريعية إلا أنه لا يجوز لها مطلقا أن تتولى منصب شيخ الأزهر لأن هذا المنصب خاص بالرجال فقط لأنه يحتم على صاحبه إمامة المسلمين للصلاة وهذا لا يجوز شرعا للمرأة.)
Wanita yang menduduki posisi jabatan kepala negara tidaklah bertentangan dengan syariah karena Al-Quran memuji wanita yang menempati posisi ini dalam sejumlah ayat tentang Ratu Balqis dari Saba. Dan bahwasanya apabila hal itu bertentangan dengan syariah, maka niscaya Al-Quran akan menjelaskan hal tersebut dalam kisah ini. Adapun tentang sabda Nabi bahwa “Suatu kaum tidak akan berjaya apabila diperintah oleh wanita” Tantawi berkata: bahwa hadits ini khusus untuk peristiwa tertentu yakni kerajaan Farsi dan Nabi tidak menyebutnya secara umum. Oleh karena itu, maka wanita boleh menduduki jabatan sebagai kepala negara, hakim, menteri, duta besar, dan menjadi anggota lembaga legislatif. Hanya saja perempuan tidak boleh menduduki jabatan Syaikh Al-Azhar karena jabatan ini khusus bagi laki-laki saja karena ia berkewajiban menjadi imam shalat yang secara syariah tidak boleh bagi wanita.
Pendapat ini disetujui oleh Yusuf Qardhawi. Ia menegaskan bahwa perempuan berhak menduduki jabatan kepala negara (riasah daulah), mufti, anggota parlemen, hak memilih dan dipilih atau posisi apapun dalam pemerintahan ataupun bekerja di sektor swasta karena sikap Islam dalam soal ini jelas bahwa wanita itu memiliki kemampuan sempurna (tamam al ahliyah).[7] Menurut Qaradawi tidak ada satupun nash Quran dan hadits  yang melarang wanita untuk menduduki jabatan apapun dalam pemerintahan. Namun, ia mengingatkan bahwa wanita yang bekerja di luar rumah harus mengikuti aturan yang telah ditentukan syariah seperti a) tidak boleh ada khalwat (berduaan dalam ruangan tertutup) dengan lawan jenis bukan mahram, 2) tidak boleh melupakan tugas utamanya sebagai seorang ibu yang mendidik anak-anaknya, dan 3) harus tetap menjaga perilaku islami dalam berpakaian, berkata, berperilaku, dan lain-lain.
Ali Jumah Muhammad Abdul Wahab, mufti Mesir saat ini, termasuk di antara ulama berpengaruh yang membolehkan wanita menjadi kepala negara dan jabatan tinggi apapun seperti hakim, menteri, anggota DPR, dan lain-lain. Namun, ia sepakat dengan Yusuf Qardhawi bahwa kedudukan Al-Imamah Al-Udzma yang membawahi seluruh umat Islam dunia harus dipegang oleh laki-laki karena salah satu tugasnya adalah menjadi imam shalat.[8]
Ali Jumah menyatakan bahwa kepemimpinan wanita dalam berbagai posisi sudah sering terjadi dalam sejarah Islam. Tak kurang dari 90 perempuan yang pernah menjabat sebagai hakim dan kepala daerah terutama di era Khilafah Utsmaniyah. Bagi Jumah, keputusan wanita untuk menempati jabatan publik adalah keputusan pribadi antara dirinya dan suaminya.
Syarat Perempuan Bekerja di Luar Rumah
Bolehnya perempuan menduduki posisi penting di lembaga pemerintahan – dari kepala negara sampai ketua RT– maupun di sektor swasta bukan tanpa syarat. Islam membuat aturan-aturan yang harus ditaati atas setiap langkah yang dilakukan oleh setiap muslim dan muslimah. Dalam hal ini, Qardawi menyatakan ada tiga syarat yang harus dipenuhi wanita yang bekerja di luar rumah:
 أولاً أن يكون العمل مشروعًا، فلا يجوز أن تعمل المرأة في عمل غير مشروع، كما لا يجوز للرجل أن يعمل في عمل غير مشروع، ولكن توجد أشياء تجوز للرجل ولا تجوز للمرأة، فلا يجوز أن تعمل راقصة مثلاً، ولا يجوز أن تعمل سكرتيرة خاصة لرجل يغلق عليها مكتب، وتضاء لمبة حمراء؛ فلا يجوز الدخول، لأن خلوة المرأة بالرجل بلا زوج ولا محرم، محرمة بيقين وبالإجماع.
الأمر الثاني: هو ألا يكون هذا العمل منافيًا لوظيفتها الأساسية في مملكتها الأساسية كما تقول، فعملها الأول أنها زوجة تؤدي حقوق الزوجية، وأم تؤدي حقوق الأولاد، فإذا كان هذا العمل سيتعارض تمامًا مع ذلك، فهذا لا يقبل بحال.

الأمر الثالث: أن تلتزم بالآداب الإسلامية، مثل آداب الخروج واللبس والمشي والكلام والحركة، فلا يجوز أن تخرج متبرجة، ولا يجوز أن تخرج متعطرة ليشم الرجال ريحها، ولا يجوز أن تمشي كما قال تعالى: (ولايضربن بأرجلهن ليعلم ما يخفين من زينتهن) أي تلبس حذاء بكعب عال وتضرب به في الأرض كأنها تقول للناس: “خذوا بالكم”، كما لا يجوز الكلام إلا بالمعروف (ولا تخضعن بالقول فيطمع الذي في قلبه مرض وقلنا قولًا معروفًا) فهذه آداب يجب أن تراعيها إذا قامت بعملها هذا.

Pertama, pekerjaan itu tidak dilarang syariah. Wanita tidak boleh melakukan pekerjaan yang dilarang syariah sebagaimana hal itu tidak boleh bagi laki-laki. Akan tetapi ada juga jenis pekerjaan yang boleh bagi laki-laki tapi tidak boleh bagi perempuan. Misalnya, wanita tidak boleh menjadi penari, atau sekretaris pribadi bagi laki-laki yang berada di dalam kamar tertutup. Karena wanita yang khalwat [berduaan dalam ruangan tertutup] dengan lelaki lain tanpa ditemani suami atau mahram adalah haram secara pasti menurut ijmak ulama.
Kedua, pekerjaan yang dilakukan hendaknya tidak meniadakan tugas wanita yang utama yaitu sebagai istri dengan melaksanakan hak-hak rumah tangga dan sebagai ibu dalam memenuhi hak-hak anak. Sekiranya pekerjaan tersebut akan mengganggu tugas-tugas utamanya, maka itu tidak bisa diterima.
Ketiga, berpegang teguh pada etika Islam. Seperti tata cara keluar rumah, berpakaian, berjalan, berbicara, dan menjaga gerak-geriknya. Oleh karena itu, wanita tidak boleh keluar tanpa mengenakan busana muslim, atau memakai parfum supaya wanginya tercium laki-laki. Dan tidak boleh berjalan dengan gaya jalan seperti yang digambarkan Allah dalam QS An-Nur 24:31 “Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.”[34] Sebagaimana tidak dibolehkan berbicara kecuali untuk kebaikan seperti disebut dalam QS Al-Ahzab 33:32 “Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik Inilah etika prinsip yang harus dijaga oleh wanita yang bekerja di luar rumah.)[9]
 Pandangan beberapa ulama` tentang wanita menjadi pemimpin
a.                                 Ulama` yang tidak membolehkannya
Alasan Pertama: Pemimpin wanita pasti merugikan , seperti hadist dari abi bakroh   قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَة
Alasan Kedua: Wanita kurang akal dan agama
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ‏ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ‏ إِحْدَاكُنَّ مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ

Tidaklah aku pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya sehingga dapat menggoyangkan laki-laki yang teguh selain salah satu di antara kalian wahai wanita.” (HR. Bukhari no. 304)
Adapun makna hadits Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam:
ما رأيت من ناقصات عقل ودين أغلب للب الرجل الحازم من إحداكن فقيل يا رسول لله ما نقصان عقلها ؟ قال أليست شهادة المرأتين بشهادة رجل ؟ قيل يا رسول الله ما نقصان دينها ؟ قالأ ليست إذا حاضت لم تصل ولم تصم ؟
Tidaklah aku pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya sehingga dapat menggoyangkan laki-laki yang teguh selain salah satu di antara kalian wahai wanita.” Lalu ada yang menanyakan kepada Rasulullah, ”Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud kurang akalnya?” Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam pun menjawab, ”Bukankah persaksian dua wanita sama dengan satu pria?” Ada yang menanyakan lagi, ”Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan kurang agamanya?” Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam pun menjawab, ”Bukankah ketika seorang wanita mengalami haidh, dia tidak dapat melaksanakan shalat dan tidak dapat berpuasa?” (HR. Bukhari dan Muslim)
Alasan Ketiga: Wanita ketika shalat berjama’ah menduduki shaf paling belakang
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا   آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ‏ آخِرُهَا  وَشَرُّهَا خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا
Sebaik-baik shof untuk laki-laki adalah paling depan sedangkan paling jeleknya adalah paling belakang, dan sebaik-baik shof untuk wanita adalah paling belakang sedangkan paling jeleknya adalah paling depan.” (HR. Muslim no. 440)
Alasan Keempat: Wanita tidak dapat menikahkan dirinya sendiri, tetapi harus dengan wali
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,  لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِىٍّ
Alasan Kelima: Wanita menurut tabiatnya cenderung pada kerusakan
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ‏ خَيْرًا ، فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ‏ مِنْ ضِلَعٍ ، وَإِنَّ أَعْوَجَ‏ شَىْءٍ فِى الضِّلَعِ أَعْلاَهُ ،‏ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ‏ كَسَرْتَهُ ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ‏ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا
Bersikaplah yang baik terhadap wanita karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk. Bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk tersebut adalah bagian atasnya. Jika engkau memaksa untuk meluruskan tulang rusuk tadi, maka dia akan patah. Namun, jika kamu membiarkan wanita, ia akan selalu bengkok, maka bersikaplah yang baik terhadap wanita.” (HR. Bukhari no. 5184)
Alasan Keenam: Wanita mengalami haidh, hamil, melahirkan, dan menyusui
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS. Ath Tholaq : 4)
Jika datang waktu seperti ini, maka di mana tanggung jawab wanita sebagai pemimpin?
Ulama` yang membolehkannya
Alasan ke 1 Tidak ada ayat yang secara tegas melarang wanita menjadi pemimpin
Analisis : Pola kalimat dalam al-Qur’an dalam menetapkan suatu larangan ada kalanya dalam bentuk fiil nahi (larangan) atau fiil nafi (pembatalan umum) atau berupa kalimat berita tetapi maksudnya mengandung larangan. Mengenai larangan dan pembatalan hal ini telah kita fahami bersama, adapun contoh mengenai pengabaran yang bersifat larangan adalah firman Allah surat al baqoroh ayat 228 dan abasa ayat 1-2.
Syeikh Muhammad Abduh rahimahullah menjelaskan dalam kitabnya bahwa yang dimaksud dengan derajat dalam ayat ini adalah kepemimpinan dan melaksanakan kebaikan .
Orang yang menentang hal ini perlu mendalami bahasa arab supaya mengerti al-Qur’an dan pola-pola kalimat bahasa arab yangberlaku di lingkungan ahli bahasa arab.
Alasan ke 2 Surat an Nisa ayat 34 hanya berkaitan dengan kepemimpinan keluarga
Analisis : untuk menguji logika tersebut perlu kita ketahui bersama dengan pikiran yang logis :
    Bila dalam ruang lingkup yang kecil saja Allah  Subhanahu wa Ta’alatelah memberikan hak kekuasaan pada laki-laki lantas bagaimana dengan perkara yang besar seperti mengatur negara?
    Pendapat yang mengatakan ayat itu hanya membatasi kekuasaan dalam keluarga maka kita perlu tengok kembali para ulama salaf bahkan ulama sekarang dalam menafsirkan ayat tersebut. Mereka para ulama memberikan penjelasan bahwa kepemimpinan itu adalah kepemimpinan dalam segala aspek kehidupan tidak hanya terbatas pada keluarga. Diantara para ulama tafsir yang berpendapat demikian adalah Syihabuddin al Baghdadi rahimahullah dalam ruhul ma’ani, imam as Syaukani rahimahullah dalam fathul qodir serta imam Thobathaba’I rahimahullah dalam tafsir mizan.
Alasan ke 3 Perempuan dan laki-laki sama sebagai kholifah
Analisis : Kata kholifah memiliki tiga makna yaitu :
ü  Pengganti, seperti termaktub dalam surat al baqoroh ayat 30, dan yunus ayat 14.
ü  Nabi, seperti termaktub dalam shaad ayat 26.
ü  Penghuni, seperti termaktub dalam surat al a’raf ayat 129
Alasan ke 4 Perempuan juga bertanggung jawab membangun pemerintah
Allah Ta’ala berfirman dalam surat at Taubah ayat 71:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Alasan ke 5 Islam memberi hak politik kepada wanita
Allah Ta’ala berfirman dalam surat As Syuraa ayat 38 :
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.”
Analisis : Hak musyawarah bagi perempuan sebagaimana disebut pada ayat tersebut tidak sendirinya dapat dijadikan dasar hukum bahwa perempuan juga mempunyai hak memimpin pemerintah dan negara. Hak seperti ini telah Allah Ta’ala khususkan bagi laki-laki seperti tersebut dalam uraian point 1 dan 2.
Alasan ke 6 Al Qur’an mengisahkan adanya kerajaan yang dipimpin oleh seorang wanita Allah berfirman dalam surat Al Naml ayat 22-23 :
Artinya : Maka tidak lama kemudian (hudhud) datang, lalu berakata:”Aku telah mengeathui seseuatu yang tidak engaku ketahui dan aku membawa keapadamu dari negeri saba’ sebuah berita yang benar. Sesungguhnya aku menjumpai seorang perempuan yang memerintah negeri mereka dan dia diberi segalanya serta mempunyai singgahsana yang besar.
Analisis : Bilqis menjadi ratu di negeri Saba’ yang masyarakatnya musyrik. Setelah Bilqis masuk Islam di hadapan Nabi Sulaiman ‘alaihisalam ia tidak lagi kembali menjadi ratu di Saba’. Hal ini menunjukan bahwa syariat pada masa Nabi Sulaiman ‘alaihisalam juga tidak membenarkan wanita untuk menjadi pemimpin negara.
Alasan ke7 Redaksi hadits tidak melarang hanya meniadakan keberuntungan.
Alasan ke 8 Imam at Thobari dan Malik membolehkan wanita menjadi hakim/qodli
Ibnu Tin mengatakan bahwa hadits Abi Bakrah yang dijadikan hujah adalah hanya sebatas larangan menjadi qodli (hakim). Ini adalah pendapat mayoritas ulama, tetapi Ibnu Jarir dan mengatakan : Perempuan dibenarkan mengadili perkara-perkara yang perempuan diterima menjadi saksinya, sebagian pengikut Maliki membenarkan seorang wanita menjadi qodli secara mutlak.
Alasan ke 9 Karena keadaan darurat
Ini adalah alasan terakhir yang mereka lontarkan untuk mendukung pendapat mereka yaitu karena darurat dan kondisi yang mendesak, sebagaimana kaidah usul fiqh :  الضرورة تبيح المحضورات
 Darurat membenarkan semua hal yang tadinya terlarang”.
Ini adalah alasan terakhir yang mereka lontarkan untuk mendukung pendapat mereka yaitu karena darurat dan kondisi yang mendesak, sebagaimana kaidah usul fiqh.

D. Kesimpulan
Terdapat kesepakatan ulama fiqih (ijmak) dari keempat madzhab dan lainnya, salaf dan kontemporer, bahwa perempuan tidak boleh menduduki jabatan al-khilafah al-ammah atau al-imamah al-udzma. Namun, ada perbedaan pandangan tentang definisi kedua istilah ini. Mayoritas memaknai kata al-khilafah al-ammah atau al-imamah al-udzma sebagai kepala negara yang membawahi wilayah Islam di seluruh dunia seperti yang terjadi pada zaman empat khalifah pertama (khulafaur rasyidin), masa khilafah Abbasiyah dan Umayyah. Ulama fiqih klasik umumnya juga tidak membolehkan perempuan menjadi hakim, kecuali Abu Hanifah, Ibnu Hazm dan Ibnu Jarir At-Tabari yang membolehkan wanita menduduki posisi apapun. Pandangan ketiga ulama terakhir ini menjadi salah satu alasan ulama kontemporer atas bolehnya wanita menjabat posisi apapun asal memenuhi syarat.

Bagi kalangan yang mengharamkan kepala negara wanita, setiap negara muslim saat ini termasuk dalam kategori al-wilayah al-ammah yang pemimpinnya disebut al-imamah al-udzma. Oleh karena itu, perempuan tidak boleh menduduki posisi ini. Bagi ulama yang membolehkan, seperti Tantawi, Yusuf Qardawi dan Ali Jumah, masing-masing negara yang ada saat ini adalah salah satu bagian wilayah alias al-wilayah al-khassah – bukan al-wilayah al-ammah —  dan karena itu boleh dipimpin oleh perempuan termasuk posisi jabatan lain yang berada di bawahnya seperti hakim, menteri, gubernur, DPR, dan lain-lain.

Di antara kedua pendapat di atas, ada pandangan yang ekstrim yang menyatakan bahwa perempuan tidak boleh menduduki posisi jabatan apapun yang membawahi laki-laki dengan argumen QS An-Nisa 4:34 dan hadits Abu Bakrah. Pendapat ini berasal dari ulama Wahabi Arab Saudi dan didukung oleh hampir semua kalangan yang pro dengan mereka.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad bin Ali bin Hajar al Asqolani, Bulughul Marom Kitabul Qodo, Berut, Darur Fikr 2001.
Abi Abdillah Abdus Salam. Ibanatul Ahkam Syarah Bulughul Marom. Juz IV, Maktabah Darul Fikr Bairut Lebanon.
  Qadri Azizi, Elektisisme Hukum Nasional, Kompetisi antara Hukum Nasional dan Hukum Umum. Cet. I, Yogyakarta, Gama Media, 2002.
  Taqiyuddin Abil Fath, Ikhkamul Akhkam, Kitabul Aiman wan-Nadar, Berut, Darul Alamiyyah, 2005.
Yusuf Al Qardhawi,  Meluruskan Dikotomi Agama & Politik “Bantahan Tuntas Terhadap Sekularisme dan Liberalisme”, Jakarta,  Pustaka Al-Kautsar, 2008.


[1] Ahmad bin Ali bin Hajar al Asqolani, Bulughul Marom Kitabul Qodo, Berut, Darur Fikr 2001, hlm.245.

[2] Taqiyuddin Abil Fath, Ikhkamul Akhkam, Kitabul Aiman wan-Nadar, Berut, Darul Alamiyyah,2008 hlm. 139.
[3] Abi Abdillah Abdus Salam. Ibanatul Ahkam Syarah Bulughul Marom. Juz IV Hal : 274 Maktabah Darul Fikr Bairut Lebanon.
[4] Qadri Azizi, Elektisisme Hukum Nasional, Kompetisi antara Hukum Nasional dan Hukum Umum. Cet. I, Yogyakarta, Gama Media, 2002, hlm. 37.
[5] Yusuf Al Qardhawi,  Meluruskan Dikotomi Agama & Politik “Bantahan Tuntas Terhadap Sekularisme dan Liberalisme”, Jakarta,  Pustaka Al-Kautsar, 2008, hlm 126.
[6] Menjabat sebagai Mufti Besar Mesir pada tahun 1986-1996, menjadi Imam Masjid Al-Azhar dan  Syeikh Al-Azhar pada 1996.
[7] Fatwa Qardawi pada suatu program “Fiqh al-Hayat” yang diadakan tanggal 29 Agustus 2009. Fatwa serupa juga ditulis di kitabnya Fatawa Muashirah. Juga dimuat di situs resminya: http://goo.gl/P3k8Nt
[8] Mufti Besar Mesir sejak 2013 sampai saat ini (2013).
[9] Qardawi, Op.Cit